Mengidentifikasi Problem Pendidikan Bahasa Arab
Mengidentifikasi Problem Pendidikan Bahasa Arab
Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.
Pendidikan Bahasa Arab sudah dimulai sejak di sekolah tingkat dasar (ibtidaiyah). Pendidikan itu dilanjutkan di sekolah menengah tingkat pertama (tsanawiyah). Aktivitas pembelajaran berjalan biasa-bisaa saja. Kalau ada masalah pada tingkat ini tidak begitu mendapat perhatian, karena segera dimaklumi bahwa pelajaran bahasa Arab belum mendapat perhatian begitu serius untuk pelajar setingkat ini. Di samping itu juga masih ada anggapan bahwa pelajar tingkat tsanawiyah adalah pelajar yang belum lama mempelajari bahasa Arab sehingga masalah yang timbul dipandang sebagai suatu kewajaran dan tidak menimbulkan kerisauan.
Lain halnya apabila masalah itu muncul di sekolah menengah tingkat atas (aliyah). Para pengajar akan merasakan langsung masalah-masalah dalam pendidikan bahasa Arab di tingkat ini. Masalah tersebut tidak lagi bisa dianggap sebagai masalah yang dapat dimaklumi begitu saja seperti ketika di tingkat tsanawiyah. Dengan demikian permasalahan pendidikan bahasa Arab baru muncul di tingkat aliyah, karena mulai mendapat perhatian ‘agak’ serius.
Terasa pada tingkat aliyah dan perguruan tinggi adanya kekecewaan-kekecewaan dari para guru dan dosen bahasa Arab. Kekecewaan itu kelihatannya dibiarkan saja menjadi keluhan-keluhan sehingga tidak ada langkah tindak lanjut dengan serius untuk mencari sebab utamanya. Sampai sejauh ini kekecewaan itu masih saja muncul berulang kali. Masalahnya: Apakah kekecewaan itu memang benar-benar disebabkan oleh problem kesulitan yang tidak dapat dipecahkan ataukah kekecewaan itu berasal dari kesulitan biasa yang sudah lazimnya dialami oleh semua yang belajar bahasa asing?
Kesulitan-kesulitan yang biasa dan lazim dialami oleh setiap pelajar bahasa asing tidak layak dikategorikan sebagai problem. Kesulitan demikian sebagai konsekuensi logis dari setiap proses pembelajaran bahasa asing. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dipecahkan sendiri oleh para pelajar. Berbeda dengan kesulitan belajar bahasa Arab yang muncul karena suatu faktor tertentu dan kesulitan itu bisa hilang ketika faktor tersebut dihilangkan. Kesulitan demikian layak dikategorikan sebagai problem. Langkah awal kajian ini menempatkan berbagai hal yang dianggap problem selama ini pada tataran sebagai isu belaka yang tidak dapat dikategorikan sebagai problem sesungguhnya. Selanjutnya isu tersebut dianalisis dalam rangka menentukan kesulitan-kesulitan yang memang menjadi kendala dalam pendidikan bahasa Arab. Ini dimaksudkan agar segera dapat dipecahkan problem yang sebenarnya.
Berbagai isu problem yang ada dipilah menjadi dua, yakni dalam kategori linguistik dan nonlinguistik. Pemilahan ini tidak berdasarkan pada tingkat dan tempat atau lembaga pendidikan, melainkan berdasarkan jenis masalahnya. Ada masalah yang langsung berkaitan dengan materi bahasa Arab yang di sebut dengan faktor linguistik dan ada masalah yang berkaitan dengan lingkungan, sarana prasarana, subyek didik dan pengajarnya atau faktor-faktor di luar linguistik yang disebut dengan faktor nonlinguistik.
1. Faktor Linguistik.
Faktor linguistik yang dianggap menjadi penyebab kesulitan dalam belajar bahasa Arab muncul karena beberapa alasan, yakni:
a. Adanya perbedaan tabiat bahasa termasuk gramatikanya (Ghufron Zainal ‘Alim: 1992, 6-7),
b. Adanya spesifikasi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia (Imroatus Saadah: 1997, 62),
c. Adanya perbedaan bahasa mulai dari sistem bunyi sampai dengan tulisannya (Urip Masduki: 1997, 53-5), dan
d. Adanya pola konjugatif (tashrifat) sebagai ciri utama bahasa Arab yang tidak dikenal dalam bahasa Nusantara sebagai bahasa mudah yakni bahasa-bahasa Astronesia (Abdurrahman Wahid: 1990, 4).
Adapun rincian faktor-faktor linguistik itu adalah sistem bunyi atau Nidlom as-Shout yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, yakni:
ث, ش, ذ, خ, ح, ظ, ط, ص, ض, ع, غ.
(Tsa’, Syin, Dzal, Kho’, Ha’, Dho’, Tho’, Shod, Dlodl, ‘Ain, Ghin), kosa kata atau mufrodat berkaitan dengan mudzakkar dan muannats, mutsanna dan jamak, khususnya yang berkaitan dengan morfhologi (tasrif) yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia, tata kalimat (tarkib al-kalimah) yakni susunan kata yang tertibnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, bentuk kalimat: jumlah ismi-yah dan fi’liyah, adanya i’rab, perbedaan sistem tulisan dari kanan ke kiri dengan huruf berbeda ketika berada di tengah di depan dan di belakang, sistem waqof pada kata dengan akhiran huruf ta’ marbuthoh yang dibaca beda ketika diwaqofkan, pelafalan al-Syamsiyah, sistem tasydid atau penggandaan bunyi huruf, dan sistem uslub (gaya bahasa).
Secara keseluruhan dinyatakan bahwa faktor linguistik itu memberikan kontribusi yang besar kalau bukan merupakan akar bagi timbulnya kesulitan penguasaan dan pengembangan pengajaran bahasa Arab terutama bagi selain bangsa Arab atau ghair al-Nathiqin bi al-‘Arabiyah (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Untuk sementara kelihatan seolah-olah bahasa Arab itu bahasa yang sukar dikuasai, dan sukarnya mempelajari bahasa Arab itu disebutkan karena faktor-faktor bahasa Arab itu sendiri. Ini suatu pendapat yang belum pernah diuji kebenarannya. Kajian disini berusaha untuk memberikan verifikasi pendapat tersebut dengan realitas bahasa Arab. Dengan demikian akan diketahui kebenaran atau kepalsuan pendapat tersebut.
Kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa Arab yang berasal dari perbedaan tabiat antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia seperti dalam hal fonetik dapat diselesaikan dengan pelajaran ilmu tajwid, khususnya dalam fonem-fonem yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia seperti tsa’ ha’, kha’, dzal, syin, shad, ghin dan sebagainya ketika dalam keadaan sendirian atau ketika bertemu dengan fonem-fonem lainnya ( Ghufron Zainal ‘Alim: 1992, 6-7).
Dalam hal etimologi yang meliputi zaman (tenses) untuk kata fi’il madli dan mudlori’, tatsniyah dan jama’, tadzkir dan ta’nits, dan masalah gramatika serta kosa kata, sampai sejauh ini penulis belum menemukan adanya upaya pemecahannya sehingga tampak menjadi problem yang menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran dan dianggap sebagai akar kesulitannya (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Padahal belum tentu hal tersebut menyebabkan kesulitan. Hanya disebabkan cara pandangnya saja bisa menjadikan hal tersebut sebagai suatu kesulitan yang menjadi problem.
Dalam hal tabiat bahasa Arab yang berbeda dari bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan pemecahannya dengan sederhana, yakni dengan belajar tajwid. Permasalahannya adalah bila memang alat bicara pada mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Arab maka memang ada masalah, tetapi perbedaan dari segi fisik para pelajar baik Indonesia maupun negara-negara lainnya ternyata tidak ada. Karena itu perbedaan tabiat bahasa tersebut sebetulnya bukan problem yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan demikian problem tersebut tidak layak disebut sebagai problem kesulitan dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan masalah etimologi (as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti terjemahannya “kunci” dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat diselesai-kan sehingga diketahui bahwa “kunci” itu alat pembuka yang bisa diketahui melalui kata fataha ((فتح yang berarti membuka menjadi miftah (مِفتاح) dengan makna alat untuk membuka.
Lain masalahnya bila suatu bahasa itu tidak mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak dibebani untuk menghafal kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat dalam bahasa Arab justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata lama yang sudah dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum diketahui sebutannya dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa tidak layak dianggap sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya atau tidak terbiasa dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan penyebab terjadinya problem dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam hal gramatika, tentunya masing-masing bahasa memiliki kekhususannya. Kekhususan bahasa itu bukan suatu problem dalam mempelajarinya. Bahasa itu dimiliki oleh suatu bangsa yang di da-lam nya juga ada masyarakat yang tidak cerdik, namun mereka bisa menggunakan bahasanya dengan baik, lancar, dan tidak mengalami problem. Fungsi gramatika suatu bahasa itu adalah sebagai ilmu tata bahasa. Demikian juga fungsi ilmu nahwu yang sering disebut sebagai qawa’id. Jadi pada dasarnya tidak ada problem dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab sebagaimana gramatika yang ada dalam bahasa asing yang lain.
Dalam kasus tertentu penulis memaklumi adanya problem khusus dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab. Akan tetapi itu bukan karena keberadaan gramatika itu sendiri. Problem itu muncul karena orientasi pembelajarannya.
Ilmu nahwu itu sering dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Ini suatu kekeliruan yang terlanjur dianggap sebagai kebiasaan. Kekeliruan inilah yang menyebabkan orientasi pembelajarannya melenceng sehingga dapat menyebabkan munculnya problem. Jadi problem pembelajaran ilmu nahwu itu muncul karena adanya kekeliruan dalam memfungsikannya, bukan karena ilmu nahwu itu sendiri.
Kasus pembelajaran gramatika bahasa Arab sering berkaitan dengan masalah i’rab yang menjadi inti bahasannya. Kesulitan yang ada disebabkan konsep yang ada ternyata memang belum tuntas. Konsep i’rab yang selama ini dinyatakan sebagai “perubahan” atau “pengubahan” atau atsar atau suatu bayan tentang fungsi kata dalam sebuah kalimat, masih perlu ditinjau ulang, karena terdapat kekeliruan dalam konsep tentang i’rab yang tertera dalam buku-buku ilmu nahwu selama ini. Ini baru bisa dinyatakan sebagai problem, karena dalam materinya sendiri memang ada masalah yang menimbulkan perselisihan pendapat tentang i’rab itu sendiri.
Dalam kasus perbedaan arah tulisan bahasa Arab yang ke kiri dengan tulisan Latin yang ke kanan, maka pada dasarnya bukan suatu kesulitan yang menimbulkan problem. Tulisan bahasa Arab yang lengkap dengan syakalnya dan dengan sistemnya yang fonetik dan sistem ejaannya yang fonemis, adalah sangat mudah untuk dipelajari cara membacanya ( Saidun Fiddaroini: 1997, 65). Mudahnya membaca tulisan yang ejaannya bersistem fonemis adalah karena suatu ejaan yang menggunakan sistem ejaan fonemis adalah ejaan yang sempurna (Samsuri, Analisis Bahasa: 1991, 23).
Dengan demikian perbedaan bentuk dan arah tulisan dari kanan ke kiri itu bukan penyebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab. Justru tulisan bahasa Arab itu terbukti paling mudah untuk dipelajari cara membacanya bila tulisan yang dimaksud adalah tulisan bahasa Arab yang sempurna. Lain masalahnya apabila yang dimaksud itu adalah tulisan gundul. Bukan sistem tulisannya penyebab kesulitan, tetapi ketidaksempurnaannya itulah yang menimbulkan problem.
2. Faktor Nonlinguistik
Faktor nonlinguistik yang dianggap sebagai sebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab antara lain: Perbedaan sosio kultural bangsa Arab dengan sosio kultural pelajar (Indonesia), sarana dan prasarana fisik, tempat dan waktu (Urip Masduki: 1997, 53-5), kemampuan subyek didik fakor-faktor psikologisnya (Ghufron Zainal ‘Alim: 1992 , 6-7), komponen-komponen instruksional yang tidak dipersiapkan dengan baik (M. Fachrir Rahman: 1998, 9), dan citra bahas Arab itu sendiri. (Abdurrahman Wahid: 1990, 4).
Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksudkan konkretnya adalah: Perbedaan ungkapan istilah untuk nama-nama benda, misalnya nama onta yang berbeda karena usianya, kurangnya jam pelajaran sehingga tidak tercapai tujuan yang digariskan dalam program pembelajaran pada kasus di Madrasah Aliyah, buku paket yang belum disiapkan dengan baik oleh penyusun kurikulumnya, rendah-nya kualitas tenaga pengajar bahasa Arab dan rendahnya kemampuan pelajarnya, masa depan yang tidak jelas bagi pelajar bahasa Arab dan tiadanya penghargaan langsug dari masyarakat sehingga kurang adanya minat untuk mempelajarinya, tidak tepatnya tujuan dan orientasi pembelajaran dan metode pengajarannya, terpisahnya pengajaran bahasa Arab di sini (Indonesia) dari perkembangan bahasa Arab sendiri di kawasan Timur Tengah, minimnya kamus yang dikarang oleh orang-orang Nusantara tentang bahasa Arab, terkaitnya pengajaran bahasa Arab dengan pendalaman ilmu-ilmu agama, dan sikap umum bangsa Indonesia yang menganggap pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari pendidikan Islam sehingga ia dipisahkan dari kegairahan hidup dalam dunia komunikatif.
Dalam menanggulangi kesulitan pada kasus nonlinguistik telah dianjurkan adanya pendekatan linguistik kontrastif, yakni peng-ajaran dimulai dari yang ada kesamaannya dengan bahasa ibu; sedangkan untuk unsur dan struktur yang tidak memiliki kesamaan diajarkan belakangan (Urip Masduki: 1997, 53-5). Anjuran ini bisa diterima untuk ditindaklanjuti sehingga kasus ini tidak lagi menjadi problem.
Kasus nonlinguistik lainnya yang dibeberkan dimuka ternyata belum ada yang mengemukakan pemecahannya yang berkisar pada masalah-masalah terbatasnya waktu yang di atur dalam kurikulum, sarana seperti buku dan alat-alat bantu teknik seperti audio visual, input yang lemah dalam bahasa Arab, dan syarat-syarat untuk kemampuan guru. Sementara upaya pemecahan yang dikemukakan hanya sebagai pertimbangan untuk ditinjau ulang dalam opersionalnya.
Perlu diketahui bahwa terbatasnya waktu bukanlah suatu problem karena dengan ditambahkannya waktu berarti sudah terselesaikan. Begitu juga mengenai sarana dan prasarana, maka pemenuhannya sudah merupakan penyelesaian. Jadi tidak layak hal-hal demikian dinyatakan sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Di samping itu perlu diperhatikan bahwa ada kalanya sarana-sarana itu juga tidak mutlak perlu, misalnya perangkat laboratorium bahasa yang tidak imbang antara harga dan manfaatnya, yang biasanya sering tidak dipakai dan jarang dimanfaatkan.
Lemahnya input dalam berbahasa Arab tidak bisa dinyatakan sebagai problem. Kalau input sudah mahir maka proses pembelajaran bahasa Arab sudah tidak ada gunyanya. Pada langkah berikutnya perlu diterapkan kedisiplinan dalam evaluasi. Para pelajar atau mahasiswa yang sudah mampu menguasai materi pembelajaran bahasa Arab layak lulus dan yang tidak mampu tidak layak diluluskan. Meluluskan pelajar atau mahasiswa yang belum mampu sama dengan menciptakan rendahnya mutu pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab. Inilah yang memunculkan problem, bukan lemahnya input tetapi membiarkan dan meluluskan calon luilusan yang lemah itulah problem.
Dalam kaitannya dengan metode yang dianjurkan untuk dipakai maka metode itu sangat berkaitan dengan materi dan tujuan dalam pembelajaran. Perlu diingat bahwa tiap metode yang dipakai itu memiliki keunggulan dan kekurangannya. Sebetulnya sangat dianjurkan untuk menyelesaikan problem metode ini dengan mema-hami dan menguasai berbagai metode untuk proses pembelajaran, sehingga setiap kali muncul permasalahan metode dapat diselesaikan dengan bantuan metode alternatif yang pada gilirannya disebut dengan metode eklektik.
Adapun tidak dipergunakannya satu sistem yang konsisten dalam metode pengajaran, tidak adanya dorongan moril, tidak jelasnya masa depan mahasiswa yang belajar bahasa Arab di Perguruan Tinggi, dan tidak adanya penghargaan langsung dari masyarakat yang bisa mengurangi minat belajar bahasa Arab, maka semua itu diselesaikan dengan memberikan kontra operasional, yakni dengan mengadakan semua yang tiadanya itu menjadikan masalah ( Ghufron Zainal ‘Alim: 1992, 25). Untuk keperluan tersebut maka daya tarik, motivasi belajar, dan prospek bahasa Arab perlu dikemukakan dengan positif, khususnya mengenai kesan pertama yang baik dalam mengenal dan menilai keman-faatan bahasa Arab.
Dalam hal tenaga pengajar, tujuan dan orientasi pengajarannya, sarana prasarana serta lingkungan yang dinilai sebagai problem, maka M. Fahrir Rahman memberikan jalan keluarnya yaitu agar ditinjau kembali orientasi pengajaran bahasa sebagai ilmu alat, yakni perlu ketentuan belajar bahasa Arab itu sebagai alat pemahaman text book, atau untuk muhadatsah (berbicara), dan perlu simplifikasi terutama dari segi nahwiyah, perlu metode yang efektif, pengajar yang profesional, materi yang proporsional serta fasilitas yang memadahi termasuk sarana penunjangnya, kondisinya juga yang kondusif untuk merangsang pengajaran bahasa Arab, dan konkretnya lembaga bahasa perlu diefektifkan dengan pola pengajaran bahasa tiap hari dengan metode, materi, pengajar, dan fasilitas yang memadai (M. Fachrir Rahman: 1998, 10). Ini suatu jalan keluar yang mudah dipenuhi dalam menghilangkan problem nonlinguistik.
Dengan analisis tersebut di atas kiranya patut dinyatakan bahwa sebetulnya tidak ada masalah nonlinguistik yang layak disebut sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Masalahnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan nonlinguistik. Ini artinya apabila kebutuhan nonlinguistik sudah dipenuhi, maka proses pembelajaran bahasa Arab bisa berlangsung dengan lancar begitu saja.
Dalam prakteknya, sarana dan prsarana itu hanya sekedar bantuan tambahan untuk memperlancar proses pembelajaran bahasa Arab. Meskipun tanpa pemenuhannya dapat juga diatasi dengan segala kesederhanaan sebagaimana belajar bahasa di masa-masa lalu yang tidak terlalu manja dengan sarana prasarana yang canggih seperti perangkat laboratorium bahasa dan sebagainya.
Dengan demikian masalah nonlinguistik ini dapat dinilai sebagai masalah yang sangat sederhana, tidak bisa dijadikan alasan atau sebab-sebab tidak bisa belajar bahasa Arab, atau sebab terjadinya kesulitan ketika belajar bahasa Arab. Demikian sederhananya masalah nonlinguistik ini maka tidak layak disebut sebagai problem pembelajaran bahasa Arab. Perlu dicermati lagi bahwa yang utama dalam pembelajaran bahasa adalah praktek dan keaktifan para pelajar itu sendiri dalam berbahasa Arab.
Jadi langkah penyelesaian masalah nonlinguistik adalah pemakaian bahasa Arab itu sendiri secara disiplin dalam proses pembelajarannya. Kondisi pembelajaran perlu diciptakan agar tidak lagi membicarakan bahasa Arab tetapi sebaliknya hendaknya senantiasa memakai bahasa Arab untuk membicarakan apa saja termasuk hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Masalah konkretnya adalah bagaimana dapat diciptakan lingkungan yang selalu memaksa untuk berbahasa Arab.
Dalam hal kultur, maka hal ini menjadi masalah bila dipaksakan untuk mempelajari kultur Arab di awal pembelajaran. Perihal yang penting adalah penguasaan kosa kata serta kaedahnya. Baru kemudian setelah mahir dapatlah diberikan makna-makna khusus yang berkaitan dengan kultur. Untuk materi ini biasanya diambilkan dari contoh-contoh idiomatik. Dengan demikian masalah kultur Arab dapat disederhanakan dan tidak lagi menjadi masalah.
sumber:
http://adab.sunan-ampel.ac.id/?page_id=1064
0 komentar:
Posting Komentar